Migrasi Burung Pemangsa atau Raptor

Nama : I Made Pasti Adi Putra, lahir tgl 01 Oktober 1967 di Gianyar, menamatkan pendidikan SD 1 Panjer Denpasar, SMP PGRI V Denpasar, SMA (SLUA 1 Saraswati Denpasar serta menamatkan pendidikan S1 di FMIPA Universitas Udayana tahun 1993 Jurusan Biologi, dan sekarang  tinggal di Batubulan tepatnya Jln Raya Batubulan Br Kapal masuk Jln Sumandang V No 4, Telp/HP 085737197110 / 081547487810.

Penulis akan mencoba memberikan gambaran dan pengalaman tentang bagaimana migrasi burung burung pemangsa yang sering di sebut sebagai Raptor. Sebagai Sarjana S1 dari FMIPA yang hobi tentang keberadaan satwa satwa yang berada di Indonesia (zoologi) khususnya spesies burung (ornitologi). Burung merupakan salah satu spesies penghuni alam liar yang memiliki bentuk, ukuran, jenis yang bervariatif serta suara kicauan yang beraneka ragam. Burung atau unggas adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki bulu dan sayap. Diperkirakan terdapat sekitar 8.800 – 10.200 spesies burung di seluruh dunia dan sekitar 1.500 jenis di antaranya ditemukan di Indonesia. Berbagai jenis burung ini secara ilmiah digolongkan ke dalam kelas Aves.

Foto 1. Pasti AP sedang melakukan pengamatan di Gunung, Bukit Sega Karangasem Bali.

Tepatnya tanggal 4 Juli 2016 saya beserta kelompok, teman dan mahasiswa FMIPA Jurusan Biologi UNUD mengadakan pengamatan Raptor tepatnya di sebuah bukit tertinggi, di ujung timur Pulau Bali. Nama Dusun dan Bukitnya Gulinten, tapi karena kadung populer dinamakan Gunung Sega. Karena menjadi lokasi stasiun transmisi TVRI Gunung Sega sejak 2005. Bukit Sega yang berada di seberang bebukitan Pura Lempuyang Karangasem. Di Bali, ini dinilai salah satu tempat pemantauan terbaik. Para Raptor yang terbang mengarah ke Pulau Lombok, bahkan bisa terbang sepinggang para pengamat burung jika berada di titik bukit tertentu. Tentu perjalanan menuju k puncak Bukit ini tidak semudah apa yang kita bayangkan namun perlu perjuangan dan kesiapan fisik dan mental yang kuat untuk bisa mencapainya.

Jalan berkelok kelok dan sangat terjal harus kita lalui setelah masuk menuju kejalan Pura Puncak Luhur Lempuyang, kurang lebih 2,5 jam dari Denpasar berkendara sepeda motor. Setiba di sebuah bukit tertingg ini, Mesin motor terasa sangat panas, bahkan karena udara dingin menyebabkan tangan jadi kesemutan. Saat berhasil tiba di puncak saya langsung parkir di halaman stasiun pemancar TVRI. Dengan beristirahat sejenak saya memperhatikan di sekeliling saya ternyata Gunung Sega, Bukit yang memang memiliki panorama yang sangat indah dengan hamparan sawah dan pemukiman penduduk di lereng dan kakinya. Megahnya bukit Lempuyang, dan panorama pemandangan Gunung Agung yang sangat eksotis.

Foto 2. Panorama Gunung Agung yang terlihat di salah satu sisi Gunung Sega Karangasem Bali.

Foto 3. Salah satu lokasi pemantauan raptor di Kawasan Gunung Sega Karangasem, tepatnya  di stasiun pemancar TVRI

Kemudian saya bertemu dengan salah seorang staf transmisi TVRI, Dono Waluyo yang memang kami sudah kenal sebelumnya yang juga menjadi pengamat dan fotografer burung. Ia sudah terbiasa menghitung rombongan ribuan raptor di langit. Menggunakan sistem kotak, hanya untuk mereka yang terlatih dan berpengalaman sebagai pengamat burung (birdwatcher).

Migrasi merupakan cara beradaptasi yang berkaitan dengan ketersedian pakan burung di alam akibat perubahan cuaca di tempat asalnya. Dalam kamus Dictionary of Birds (Campbell, 1985) disebutkan bahwa migrasi merupakan pergerakan populasi burung yang terjadi pada waktu tertentu setiap tahun, dari tempat berbiak menuju tempat mencari makan selama iklim di tempat berbiaknya itu tidak memungkinkan. Di tempat barunya itu, burung-burung tersebut tidak akan berbiak, dan baru berbiak jika sudah kembali ke tempat asalnya pada musim berbiak berikutnya.

Burung pemangsa atau raptor ini dalam perjalanannya akan melintasi Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di Indonesia, burung yang mengembara lintas negara ini, akan melewati wilayah Riau, Jambi, Palembang, Lampung, Jawa, Bali, hingga Flores. Ini fenomena alam yang sangat menarik. Setiap tahun, tercatat lebih dari 20.000 elang melintasi Indonesia.

Setiap tahun akan terjadi hal yang sama, dimana puluhan ribu raptor bermigrasi mencari makan dari kawasan Asia Utara  menuju kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Hingga saat ini, Indonesia tujuan migrasi terbesar raptor Asia Timur, Musim migrasi biasa dua kali: musim gugur (September-November), dan musim semi (Maret-Mei).

Sebelum sampai di Bali, burung pemangsa ini masuk dari Baluran, Ijen, Alas Purwo (Jatim) ke Bali Barat (TNBB). Kemudian lewat pesisir utara Bali sampai Singaraja, dan terakhir Gunung Sega di Karangasem.

Saat musim dingin di bumi belahan Utara, rombongan raptor ini mencari tempat hangat ke negara-negara di garis khatulistiwa. Arus balik diperkirakan Maret-Mei, juga melewati bebukitan di Bali Timur ini. “Titik favorit di bukit itu, burung muncul dari bawah naik ke atas ke arah Lombok,” tunjuk Santi sebagai salah satu pengamat burung

Pada Oktober sampai November adalah puncak migrasi raptor-raptor ini. Tak sulit menemukan mereka sedang terbang dengan sayap terbentang di langit. Terutama pagi sampai tengah hari. Jelang sore, jumlah yang melintas makin sedikit, bisa dihitung jari.

 Indonesia salah satu daerah penting berberapa jenis burung migrasi di Asia sebagai daerah lintasan, daerah singgah bahkan beberapa daerah menjadi tempat menghabiskan musim dingin,” ucap Zaini pengamat burung Indonesia.

Sayangnya, kondisi ini tidak diimbangi lingkungan yang memadai. Tingkat kerusakan hutan baik deforestasi, degradasi dan fragmentasi  terutama di Jawa makin tinggi dan menyebar ke daerah-daerah lain.  Keadaan ini, sangat mengganggu sekaligus menjadi penyebab terus berkurangnya raptor yang bermigrasi ke Indonesia.

Perubahan iklim dan kerusakan habitat juga membuat perilaku migrasi reptor berubah. Beberapa jenis yang sebelumnya jenis migrasi penuhsebagian migrasi (partial migration). Beberapa jenis atau individu juga ada yang menjadi penetap di daerah musim dingin dan tidak kembali menuju daerah berbiak para reptor. “Ini membuat kompetisi para reptor makin tingi, hingga secara tidak langsung menyebabkan penurunan populasi.”

Zaini Rakhman, Ketua Raptor Indonesia (Rain), mengatakan, Indonesia dan Timor Leste, tujuan akhir migrasi. Namun,  terbesar di Indonesia secara sporadis sampai ratusan ribu ekor. “Sebagai tujuan akhir migrasi raptor dari Asia, Indonesia menjadi penting untuk konservasi raptor di Asia,” katanya awal Desember 2012.

Selanjutnya Menurut Udin yang juga merupakan salah satu pengamat burung lokasi di Gunung, Bukit Sega ini berpotensi sebagai ekowisata  birdwatching, fotografi, ekowisata berbasis migrasi burung pemangsa, dan sarana edukasi atau pendidikan bagi yang suka dengan tantangan alam. Udin berharap area migrasi ini dilestarikan sebagai daerah penyangga. Selain ekowisata juga diharap mendorong edukasi perlindungan pemangsa dan tidak boleh diperjualbelikan, ditangkap, juga untuk rekreasi alam terbuka.

Demikianlah apa yang pernah kami lakukan tentang pengamatan Raptor di Gunung, Bukit Sega Karangasem Bali. Tentunya apabila kita ingin mengamati nya lagi, kita harus bisa  mempersiapkan diri dan menjaga kondisi fisik kita nanti. Sekali lagi selain untuk menambah wawasan kita tentang alam khususnya burung, kita juga bisa memanfaatkan alam ini sebagai wahana Edukasi bagi siswa siswi kita di dalam mempersiapkan diri untuk selalu cinta dan sayang terhadap lingkungan, karena lingkungan sekarang sudah banyak yang di rusak, di alih fungsikan sebagai kepentingan manusia yang ujung ujungnya mengorbankan kekayaan Alam Nuftah kita atas dasar Industrialisasi Modern.

Foto hasil Pengamatan.

Foto 4. Beberapa dari puluhan ribu raptor bermigrasi mencari makan

Foto 5. Elang alap alap (Accipiter gularis/Japanese Sparrowhawk).

Foto 6. Sikep-madu asia, jenis raptor yang mengembara setiap tahunnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *